Cari Blog Ini

Rabu, 22 Mei 2013

Mari Belajar Menjadi Bijaksana


Dari kisah yang saya tuliskan kemarin, mari kita mengambil ibroh, kita sebagai sahabat atau sebagai murobbi hendaknya bertindak bijaksana, tidak kemudian menjust bahwa ada yang tidak beres pada mereka, bukankah cinta mencintai adalah fitrah, lalu kenapa itu terlarang? sepanjang cinta itu hadir bukan karena sahwat (Ketampanan, kekayaan, kedudukan, mengumbar perhatian: smsan, teleponan, chatingan yang tidak penting). Namun karena agamanya, akhlaknya, dan kecintaannya pada dakwah. Cinta seperti ini ada baiknya di apresiasi, kita bantu untuk menemukan solusinya, bukan malah mempersulitnya.

Kata Anis Matta dalam serial cintanya, kasihanilah orang-orang yang jatuh cinta, karena di hati siapapun cinta yang suci yang tulus seperti itu singgah, kita seharusnya mengasihi pemilik hati itu. Sebab itu perasaan yang luhur. Sebab perasaan yang luhur begitu adalah gejolak kemanusiaan yang direstui di sisi Allah. Karena direstui itulah Rosulullah yang merupakan teladan terbaik kita, menanggapi dengan sangat bijaksana dalam hal ini seperti dalam sabdanya: tidak ada yang lebih baik bagi mereka yang saling mencintai kecuali pernikahan (HR. Ibnu Majah).        

Tentu kita masih ingat kisah Pernikahan Fatimah dan Ali, betapa bijaksananya Rosulullah saat dua sahabat terbaiknya nya: Abu Bakar dan Umar datang meminang Fatimah, namun beliau menolaknya dengan santun karena tidak ada jawaban yang menyetujui dari Fatimah. Tapi ketika Ali yang datang beliau menjawabnya dengan ahlan wa sahlan karena Fatimah telah mengiyakan, dan beliau faham ada cinta di hati Fatimah untuk Ali. Di sini dua jiwa telah bertemu, dan pertemuan itu adalah atas kehendak Allah.        

Kita lihat betapa banyak proses ta’aruf yang akhirnya gagal karena dua jiwa belum bertemu, dan ini juga atas kehendak Allah. Apakah kemudian kita akan memaksakan dua jiwa harus bertemu dengan alasan wilayah dakwah, rasanya terlalu berlebihan, siapa yang bisa menjamin menikah dalam satu wilayah dakwah akan menjamin keberlangsungan dakwah di tempat itu. Dan siapa pula yang mengatakan menikah beda wilayah tidak bisa melanjutkan dakwah. Justru bisa jadi itu adalah pelecut semangat yang semakin berkobar. Bukankah Allah telah berfirman “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal” (Al-Hujurat: 13).

Atau karena alasan masih banyak stok akhwat/ikhwan yang belum menikah, sehingga harus didahulukan dulu. Lalu, apakah yang sudah terpaut cinta tidak penting disegerakan? Dan bukankah tidak ada itshar dalam hal ibadah? Bukankah pula menolong dua jiwa yang sudah terpaut cinta lebih maslahat daripada menyatukan jiwa yang belum saling mengenal.

Mari Kita juga belajar dari kisah Qais dan Laila yang menyejarah. Kebanyakan kita hanya melihat dari sisi dua orang ini saja, betapa bodohnya mereka hingga menjadi gila sampai mati dalam keputusasaan, ya itu memang benar mereka terlalu berlebihan, tapi mari kita juga melihat sisi orang tua mereka yang tidak merestui karena alasan kedudukan. Bukankah Allah tidak melihat kedudukan? Tapi Dia melihat ketaqwaan hambanya. Bila orang tua mau bijaksana maka saya kira tidak ada cerita Qais dan Laila majnun.

Begitulah, kadang kita tidak sadar telah menjadi mata rantai dalam melakukan kezaliman pada diri mereka sendiri: bersedih berkepanjangan. Nah kalau sudah begini siapa yang bertanggung jawab?. Coba kita lihat hadist dari Jarir bin Abdullah ra., Rosulullah bersabda “Barangsiapa yang tidak mengasihi sesama manusia, maka Allah tidak akan mengasihinya.” ( HR. Bukhari dan Muslim).

Dan bisa jadi kondisinya lebih parah lagi, jika karena larangan yang tak berdasar itu mereka menjadi kecewa dan akhirnya menempuh jalan yang tidak di ridhai Allah misalnya berzina atau bunuh diri atau menikah dengan orang musrik/kafir, lalu siapa lagi yang bertanggung jawab? bukankah kita yang telah menjadi mata rantainya?

Maka bersikap bijaksana itu perlu, selama cinta itu hadir karena kesuciannya: cinta karena Allah. Karena cinta adalah energi yang tak pernah habis, betapa agungnya jika energi itu disalurkan ke tempat yang benar, insyaAllah ia akan melahirkan kekuatan dakwah yang menyejarah, seperti cinta Fatimah dan Ali.

Tulisan ini sebagai renungan bagi kita, siapapun kita, sahabat, murobbi, ataupun orangtua agar bisa lebih bijak dalam menanggapi hal semacam itu.

Wallahua’lam bish showab…

2 komentar:

  1. Ukh, aku suka banget sama tulisan ini... boleh aku copas gak? Mau aku layangkan entah di blogku yang Gen-Q atau Dia_Ry... soalnya keren banget >,<

    BalasHapus
  2. Subhanallah...afwan ukh baru baca komentmu, tafaddol share sebanyak2nya, agar menjadi renungan bagi qita semua :)

    BalasHapus

syukron...telah berkunjung ke blog ana...
semoga bermanfaat ya ^_^