Dari kisah yang saya tuliskan kemarin, mari kita mengambil
ibroh, kita sebagai sahabat atau sebagai murobbi hendaknya bertindak bijaksana,
tidak kemudian menjust bahwa ada yang tidak beres pada mereka, bukankah cinta
mencintai adalah fitrah, lalu kenapa itu terlarang? sepanjang cinta itu hadir
bukan karena sahwat (Ketampanan, kekayaan, kedudukan, mengumbar perhatian:
smsan, teleponan, chatingan yang tidak penting). Namun karena agamanya,
akhlaknya, dan kecintaannya pada dakwah. Cinta seperti ini ada baiknya di
apresiasi, kita bantu untuk menemukan solusinya, bukan malah mempersulitnya.
Kata Anis Matta dalam serial cintanya, kasihanilah
orang-orang yang jatuh cinta, karena di hati siapapun cinta yang suci yang
tulus seperti itu singgah, kita seharusnya mengasihi pemilik hati itu. Sebab
itu perasaan yang luhur. Sebab perasaan yang luhur begitu adalah gejolak
kemanusiaan yang direstui di sisi Allah. Karena direstui itulah Rosulullah yang
merupakan teladan terbaik kita, menanggapi dengan sangat bijaksana dalam hal
ini seperti dalam sabdanya: tidak ada yang lebih baik bagi mereka yang saling
mencintai kecuali pernikahan (HR. Ibnu Majah).
Tentu kita masih ingat kisah Pernikahan Fatimah dan Ali,
betapa bijaksananya Rosulullah saat dua sahabat terbaiknya nya: Abu Bakar dan
Umar datang meminang Fatimah, namun beliau menolaknya dengan santun karena
tidak ada jawaban yang menyetujui dari Fatimah. Tapi ketika Ali yang datang
beliau menjawabnya dengan ahlan wa sahlan karena Fatimah telah mengiyakan, dan
beliau faham ada cinta di hati Fatimah untuk Ali. Di sini dua jiwa telah
bertemu, dan pertemuan itu adalah atas kehendak Allah.
Kita lihat betapa banyak proses ta’aruf yang akhirnya gagal
karena dua jiwa belum bertemu, dan ini juga atas kehendak Allah. Apakah
kemudian kita akan memaksakan dua jiwa harus bertemu dengan alasan wilayah
dakwah, rasanya terlalu berlebihan, siapa yang bisa menjamin menikah dalam satu
wilayah dakwah akan menjamin keberlangsungan dakwah di tempat itu. Dan siapa pula yang mengatakan menikah beda wilayah tidak bisa melanjutkan dakwah. Justru bisa jadi itu adalah pelecut semangat yang semakin berkobar. Bukankah
Allah telah berfirman “Hai manusia,
sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan
dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal.
Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang
yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Mengenal” (Al-Hujurat: 13).
Atau karena alasan masih banyak stok akhwat/ikhwan yang
belum menikah, sehingga harus didahulukan dulu. Lalu, apakah yang sudah terpaut
cinta tidak penting disegerakan? Dan bukankah tidak ada itshar dalam hal
ibadah? Bukankah pula menolong dua jiwa yang sudah terpaut cinta lebih maslahat
daripada menyatukan jiwa yang belum saling mengenal.
Mari Kita juga belajar dari kisah Qais dan Laila yang
menyejarah. Kebanyakan kita hanya melihat dari sisi dua orang ini saja, betapa
bodohnya mereka hingga menjadi gila sampai mati dalam keputusasaan, ya itu
memang benar mereka terlalu berlebihan, tapi mari kita juga melihat sisi orang
tua mereka yang tidak merestui karena alasan kedudukan. Bukankah Allah tidak
melihat kedudukan? Tapi Dia melihat ketaqwaan hambanya. Bila orang tua mau
bijaksana maka saya kira tidak ada cerita Qais dan Laila majnun.
Begitulah, kadang kita tidak sadar telah menjadi mata rantai
dalam melakukan kezaliman pada diri mereka sendiri: bersedih berkepanjangan. Nah
kalau sudah begini siapa yang bertanggung jawab?. Coba kita lihat hadist dari
Jarir bin Abdullah ra., Rosulullah bersabda “Barangsiapa yang tidak mengasihi
sesama manusia, maka Allah tidak akan mengasihinya.” ( HR. Bukhari dan Muslim).
Dan bisa jadi kondisinya lebih parah lagi, jika karena
larangan yang tak berdasar itu mereka menjadi kecewa dan akhirnya menempuh
jalan yang tidak di ridhai Allah misalnya berzina atau bunuh diri atau menikah
dengan orang musrik/kafir, lalu siapa lagi yang bertanggung jawab? bukankah
kita yang telah menjadi mata rantainya?
Maka bersikap bijaksana itu perlu, selama cinta itu hadir
karena kesuciannya: cinta karena Allah. Karena cinta adalah energi yang tak
pernah habis, betapa agungnya jika energi itu disalurkan ke tempat yang benar,
insyaAllah ia akan melahirkan kekuatan dakwah yang menyejarah, seperti cinta
Fatimah dan Ali.
Tulisan ini sebagai renungan bagi kita, siapapun kita,
sahabat, murobbi, ataupun orangtua agar bisa lebih bijak dalam menanggapi hal
semacam itu.
Wallahua’lam bish showab…
Ukh, aku suka banget sama tulisan ini... boleh aku copas gak? Mau aku layangkan entah di blogku yang Gen-Q atau Dia_Ry... soalnya keren banget >,<
BalasHapusSubhanallah...afwan ukh baru baca komentmu, tafaddol share sebanyak2nya, agar menjadi renungan bagi qita semua :)
BalasHapus