Bismillaahirrohmaanirrohiiim…
Beberapa waktu lalu saya dicurhati oleh seorang sahabat,
dengan linangan air mata ia bertutur “Ukhti…salahkah kita bila cinta bersemi di
hati, lalu kita bermaksud mensucikannya dengan jalan menikah?”. Saya katakan
“yah tak ada yang salah, bila cinta itu
berlandaskan iman, maksudnya cinta yang bukan karena kekayaannya, ketampanan,
atau karena perhatiannya (smsan, telefonan, chatingan hal-hal yang tidak
penting) tapi karena agamanya, karena ia mencintai dakwah ini”.
“Demi Allah ukh, kami tak pernah smsan, telefonan, ataupun chatingan,
dan bukan pula karena dia tampan, menurutku ia sangat biasa, juga bukan karena
kayanya karena aku tak pernah tau seperti apa keadaannya. Aku mengaguminya
karena kesalihannya, dan ia sangat mencintai dakwah ini. Tapi kenapa
seakan-akan mereka menganggap kami begitu rendah, menggangkap hal itu tak
pantas karena menyalahi aturan. Kami tak boleh mengajukan proposal, alasannya
mereka sudah punya data masing-masing wilayah untuk dita’arufkan, seakan-akan
bila ta’aruf beda wilayah itu adalah terlarang dan itu tak boleh terjadi,
bukankah Allah sudah berfirman: “Hai
manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu
saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu
disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah
Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal” (Al-Hujurat: 13). Lalu apakah mereka
tidak membaca firman Allah ini? Air mata itu terus mengalir semakin deras di
wajahnya. Ku peluk erat tubuhnya yang terguncang, ku biarkan ia meluapkan semua
beban yang menghimpitnya. Entahlah, saya juga tak sanggup menahan genangan air
di pelupuk mata, perlahan ia menganak sungai juga. Kami membisu dalam isakan
tangis.
Setelah beberapa lama kami larut dalam emosi yang sama.
Akhirnya ia mencoba memulai lagi pembicaraan, “ukhti kenapa anti ikut menangis?”
Saya menghela nafas sebelum kemudian menjawab “hanya ingin menangis saja ukh,
ikut merasakan apa yang anti rasakan”.
Sebenarnya saya merasa tak mampu menasehatinya, saya kelu,
buntu namun saya ingin mencoba menjernihkan pikirannya dan membangkitkan
harapannya. Saya bacakan ayat Al-Qur’an kepadanya “Dan janganlah kamu (merasa) lemah dan jangan (pula) bersedih
hati, sebab kamu paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang yang beriman”
(QS. Ali Imron: 139)
Kembali saya menanggapi ceritanya, ukhti agar hati tenang berprasangka
baik saja pada Allah, mungkin Allah hendak mengajarkanmu tentang kesabaran, mungkin
Allah ingin mengajarkanmu tentang arti menghargai, mungkin saja Allah hendak menguji
keseriusan kalian, mungkin Allah memberikan kesempatan pada kalian untuk menjadi
pribadi yang lebih baik. Lebih mendekat kepada-Nya. Kalau memang ia jodohmu
pasti Allah akan mempertemukan kalian pada waktu yang tepat nanti. Bersedih dan
menangis boleh-boleh saja, karena ia adalah ekpresi jiwa yang sangat manusiawi,
yah wajar-wajar saja, namun jangan sampai berlarut-larut apalagi berputus asa,
berharap saja kepada Allah, bukankah Dia Maha Megabulkan Harapan.
Kalau ini saatnya menanti maka cukuplah Allah sebagai
penolong, seperti firman Allah
“ Wahai orang-orang yang beriman, mohonlah pertolongan kepada Allah dengan
sabar dan sholat. Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar”
(QS. Al Baqoroh: 153).
Kata Salim A Fillah sholat dan sabar adalah perpaduan dua
mata air yang tak pernah kering dan bekal yang tak pernah habis. Mata air yang
memperbaharui tenaga, dan bekal yang meransum hati, sehingga tali kesabaran
semakin panjang dan tak mudah putus.
Rosulullah bersabda: “Sungguh mengagumkan keadaan seorang
mukmin, seluruh perkaranya adalah baik; Jika ia diberikan kesenangan ia
bersyukur, maka itu baik baginya; dan jika ia ditimpa kesusahan ia sabar, maka
itu baik baginya. Dan hal demikian hanyalah bagi mukmin.” (HR Muslim).
Sebagai manusia yang begitu lemah, kita diperintahkan untuk
terus berdo’a, jangan pernah berhenti berdo’a, karena do’a adalah senjata orang
mukmin. Dan tuhanmu berfirman. “Berdoalah
kepada-Ku, niscaya akan Aku perkenankan bagimu”. (QS. Al-Mu’min: 60).
Saya juga tersentuh dengan status sahabat dumay beberapa
waktu lalu: “Hidup memang bukan semata penungguan. Tapi, ia adalah sebuah
rentang yang harus diberi makna. Seorang yang berjalan sambil memetik mawar dan
melati, tentu berbeda dengan seseorang yang berjalan tanpa mengambil apapun.
Maka, tunggulah saja apa yang seharusnya kau tunggu, tapi jangan berdiam diri
tanpa arti” [Status Norma Keisya Avicenna, (12/11)].
Maka dalam rentang penantian itu manfaatkanlah waktu dengan
sebaik-baiknya untuk terus memperbaiki diri, menambah ilmu, berbuat baik untuk
orang lain, mendekat sedekat-dekatnya kepada-Nya. Jikalau akhirnya takdir Allah
mempertemukan maka sukarialah yang akan diperoleh karena pribadi sudah menjadi lebih
baik dan lebih matang.
Wahai seorang kekasih
Telah lama kau dirindui
Hidup sedih dalam kerinduan
Menangispun tak berairmata
Tapi terus tetap bersabar
karena ikatan janji
(The Zikr)
Wallahu a’lam bish showab…
Baarokallahu fiikum…
sabar itu terdiri dari lima huruf yang sangat sulit aplikasinya. jika tak mau bersabar, maka ambil aja jalan pintas. Yakinlah, jalan pintas itu akan membuat jiwa jauuh dari dekapan-Nya.
BalasHapus#nasihat diri sendiri
Ya sulit sekali, namun bila bersama Allah, insyaAllah akan bisa...Tak faham ukh, jalan pintasnya seperti apa ya? :)
BalasHapus