Bismillah…
Seminggu lalu kami melaksanakan acara DAQU CAMP di bumi perkemahan Situ Gintung selama tiga hari, acara ini adalah acara rutin
tahunan karena merupakan program sekolah. Setiap kali camping banyak pelajaran
yang didapat mulai dari belajar survive di alam, belajar mandiri, belajar
kreatif, belajar memecahkan masalah, belajar mengambil keputusan dengan cepat
dan tepat, belajar mengendalikan emosi saat lelah bertambah-tambah, belajar
berempati kepada sesama, dan yang paling penting belajar tetap istiqomah
menunaikan rutinitas ibadah mahdoh baik fardu maupun sunnah. Itulah beberapa
hikmah yang kami tanamkan pada anak-anak dalam kegiatan camping.
nah sekarang saya ingin bercerita dalam cerita, yang mungkin bisa diambil hikmahnya,
Pagi yang cerah, mentari bersinar terang disela-sela dedaunan jambu mete yang tumbuh disekitar buper. Saat itu saya baru saja selesai
melaksanakan sholat dhuha ditengah hiruk pikuk suasana camping, tiba-tiba
seorang sahabat datang menghampiriku yang masih duduk di atas sajadah, dia
terlihat agak lemas, ketika ku tanya “antum masih puasa?” Ia menjawab: “iya”, aku
penasaran selama kami camping tiga hari ini ia puasa terus padahal kegiatan ini
butuh banyak menyita tenaga, akhirnya aku bertanya lagi, “antum puasa apa?bayar
nazar atau bayar hutang?” “ngak cuma pengen puasa aja say”. Tiba-tiba ia
bertanya tentang sesuatu yang tak biasa, sebenarnya kami sudah cukup lama
bersahabat tapi belum pernah bertanya tentang hal serius semacam itu, karena
waktu kami terbatas.
Inilah dialog kami berdua:
R: "Say pernahkah antum jatuh
cinta pada seseorang?"
A: (kaget mendapat pertanyaan
yang tiba-tiba, namun segera ku jawab) “yah setiap orang pasti dianugerahi rasa
itu, karena itu adalah fitrah”
R: “jadi kesimpulannya antum
pernah?”
A: (hanya terenyum)”kenapa
antum ini sedang jatuh cintakah?kalau iya tidak apa-apa sudah suatullahnya
begitu dari sejak Nabi Adam as.dulu, hanya saja perlu kita bingkai dengan
syari’atnya kalau belum mampu menikah”
R: “yah ana tau itu, ana tau
bagaimana caranya menjaga, namun sebenarnya bukan belum mampu, hanya saja ana
menunggu sampai ia datang ke orang tua”
A: "Apakah ia tau bahwa antum menunggunya?"
R: “yah mungkin, ana hanya
berprasangka karena kami tak pernah bertemu lagi sejak lulus SMA dulu bahkan
berkomunikasipun tidak”
A: “Sejak SMA? Berarti sudah delapan tahun ya? Jadi
selama delapan tahun ini antum mengunggunya?"
R: “Iya say”
A: “Subhanallah, apa yang
membuat antum begitu yakin dan begitu kuat menunggunya selama ini?”
R: “entahlah say, ana juga tak
faham, sebenarnya ia biasa saja, tidak ganteng, apalagi kaya yang kebanyakan
wanita meninginkan hal itu. Tapi sejujurnya ana kagum pada kepribadiannya dan
keshalihannya dan ia adalah orang yang menginspirasi ana untuk terus menghafal
al qur’an. Dan yang membuat ana bersedih ternyata
ia sudah datang sebanyak 4 kali ke orang tua dan ana tak pernah dikasih tau,
karena orang tua tidak setuju dengan alasan beda suku".
A: “sekarang, apakah antum
masih menunggu ia datang lagi?”
R: (dengan yakin ia menjawab)”iya say, ana masih menunggunya, bahkan kalau memang kami tidak berjodoh, dalam hati
ana berjanji biarlah ia yang mendahuluiku menikah, ana tak ingin menyakitinya, kadang
ana merasa sangat takut sekali menyakitinya, karena akhir-akhir ini beberapa
orang datang ke orang tua untuk meminang, namun alhamdulillahnya belum ada yang
cocok menurut mereka. Tapi sekarang sebenarnya mereka sudah melunak, sudah mau
terbuka dengan siapa saja, dan ana masih sangat berharap ia datang lagi”
Binaran mata itu berkaca-kaca,
ah, aku tak kuat menatapnya, aku tertunduk dalam, tak ada isakan tangis,
mungkin ia sudah tak mampu lagi bersuara, hanya butiran bening ketulusan
mengalir berderai-derai di sudut matanya yang mampu mewakili perasaannya. Aku
ingin sekali memeluknya untuk sekedar menguatkan hatinya yang sedang rapuh,
namun keramaian di sekitar perkemahan membuatku mengurungkan niat agar tidak
menjadi pusat perhatian mereka. Aku hanya
berkata ”berharaplah pada Allah, bukankah Dia Yang Maha Mengabulkan Harapan? la
tahzan, innallaha ma’ana”.
Aku salut pada sahabatku ini, dalam
kegamangannya ternyata selama Muharam ini ia berpuasa untuk mengobati hatinya
yang sedang rapuh, sampai di perkemahanpun masih berpuasa, Subhanallah luar
biasa. Mungkin itulah bedanya jatuh cinta orang beriman, membuat ia semakin
dekat dengan Allah, bukan mendekat pada orang yang ia cintai.
Sahabat, sungguh ku
tau perasaanmu, andaikan aku mengenalnya, aku ingin sekali mengatakan padanya bahwa kau
masih menunggunya. Hanya do’aku untukmu: semoga Allah mudahkan semua urusanmu,
mengabulkan do’amu, mendapatkan yang terbaik dari sisi-Nya.
Dari kisah di atas banyak ibroh
yang bisa diambil. Bahwa cinta adalah kekuatan, bukan melemahkan, cinta adalah
harapan, bukan angan kosong, cinta adalah semangat menjadi lebih baik bukan hancur
dalam keterpurukan, cinta adalah yakin walau dalam kegamangan. Yah seperti
sahabatku itu, karena cintanya membuat ia menjadi hafidzoh 30 juz, begitu juga
dengan orang yang dicintainya, yang ia ketahui dari sahabatnya bahwa
pemuda itu juga telah menjadi hafidz 30 juz dan menjadi pemuda yang alim lagi
sholih. Subhanallah energi cinta memang luar biasa, apalagi bila cinta itu
diapresiasi oleh orang-orang di sekitarnya insya Allah akan melahirkan sesuatu yang lebih dahsyat.
Mungkin inilah namanya cinta karena
Allah, tak lekang oleh waktu, karena penyebabnya Allah, maka semakin mereka dekat
dengan Allah, cintanya semakin kuat dan dalam walaupun tak pernah berinteraksi dan
banyak rintangan yang mereka hadapi.
Semoga Allah mempertemukan mereka
dalam ikatan yang kuat nan suci, mereka pantas mendapatkannya karena
kesabarannya, sabar atas ujian, sabar dalam menjaga hati, sabar dalam taat
kepada Allah. Sabar dan terus bersabar...
Aamiin ya Mujiib…
1851 583434
BalasHapusmaksudnya apa mb?no mb kah?
BalasHapuskereen ceritanyaa.. subhanallah :)
BalasHapusya keren banget, ana sampe berderai-derai mendengarnya :'(, ini bener2 kisah nyata ukh, beliau adalah seorang guru tahfidz di pondok kami andaikan ana mengenal laki2 itu, ingin sekali ana membantunya...
BalasHapus