Hanif Aqil Al Fath
Pagi itu hari ke 27 Ramadhan, mentari bersinar cerah
menembus hangat di kulit yang sedikit kaku lantaran suhu yang lumayan dingin
dibawah rata-rata sekitar 20 0 C. Walaupun sudah padat kota yang
dijuluki kota Kembang ini masih menyimpan dingin, ditambah lagi rimbunan
pepohonan yang menjulang tinggi disekitar masjid Salman. Selama seminggu aku
berdiam di sini. Rasanya tak mau meninggalkannya sampe akhir ramadhan, banyak
ilmu yang kudapatkan juga teman2 baru. Hal menarik lainnya sholat malam yang
luar biasa, kalau ditempat lain biasanya ku temukan bangun tahajud jam 3 dini
hari, namun di Salman ini jam 1.00 – 3.00 dengan bacaan dua juz al qur’an.
Kemudian bisa tidur sebentar atau melanjutkan tilawah sendiri baru kemudian jam
4.00 makan sahur.
Tibalah saatnya aku harus pulang karena rinduku semakin
pekat, ingin segera bertemu dengan orang2 tercintaku. Sudah setahun tepat aku
tak pulang. Bagi seorang anak rantau, moment lebaran adalah kesempatan yang
sangat berharga untuk berjumpa dengan orang-orang tercinta, persiapan
kepulangan ini sudah kulakukan jauh sebelum ramadhan agar pertemuan yang
singkat ini berkualitas. Salah satunya kupersiapkan dengan do’a agar
dipertemukan dalam ketaatan, keberkahan, dan limpahan kasih sayang.
Perjalanan yang ku tempuh cukup singkat seitar 50 menit dari
Soeta sampai ke Fatmawati Bumi Raflesia. Namun belum berakhir sampai disitu aku
harus melanjutkan perjalanan lebih kurang 3,5 jam lagi untuk sampai di rumah. Pertama
kali yang kulihat adalah wajah ayah, karena ia yang menjemputku diterminal,
segera kuraih tangannya dan kucium lama sekali, aku seperti menemukan obat kerinduan
yang lama terpendam. Kemudian kulihat wajah kedua kakakku, adik2ku dan dua
ponakanku, tak tahan lagi segera kupeluk erat dua mujahid kami yang sekarang
sudah tumbuh semakin besar. Rasanya cepat sekali, ketika kutinggalkan lebaran
lalu ponakan pertamaku belum setinggi ini, dan ponakan yang kedua belum bisa
berjalan dan bicara, sekarang ia sudah pandai berlari, dan bicara. Aku baru
tersadar ternyata waktu ini terus berjalan. Namun aku tidak menemukan ibu
diantara mereka, segera saja ku tanyakan pada ayah ”Papa mane umak?”. Ayah
menjawab singkat ”umak nga nunggu duma”. Segera kami meluncur ke rumah. Ketika
sampai segera kupeluk erat ibunda tercinta.
Pagi yang cerah, burung-burung berkicau merdu,
melompat-lompat bebas diantara ranting pepohonan rambutan dan belimbing di
sekitar rumah, masih dibulan ramadhan tepatnya H-1 lebaran, kami semua
berkumpul di ruang utama keluarga. Ayah sengaja mengumpulkan kami untuk
berdiskusi dan sharing. Ini rutin ia lakukan setiap kami pulang, tujuannya baik
sekali untuk membuka wacana pemikiran, mengetahui apa saja yang sudah kami
lakukan dan rencana apa yang akan kami lakukan untuk berkontribusi membagun
Indonesia tercinta ini. Yah pemikiran
ayah sudah mencapai kesana bahkan melampaui dunia, meskipun pendidikannya hanya
mencapai tingkat SMP. Begitulah ayah, ia paling suka diskusi, walau kadang kami
berbeda pendapat, namun akhirnya menemukan jalan penyelesaian.
Satu hal lagi yang aku kagumi dari ayah, beliau adalah
motivator terhebat kami, sehingga kami anak-anaknya mencintai ilmu. Masih ku
ingat dulu pesan ayah “cintailah ilmu dan jadilah orang yang berilmu, karena
hidup di dunia ini dan di akhirat nanti harus dengan ilmu jika ingin selamat”.
Kemudian beliau menambahkan mahfuzat arab “carilah ilmu sampai ke negeri cina”.
Pesan inilah yang menjadi pembakar semangat kami anak-anaknya untuk terus
belajar dan mengamalkan ilmu yang dimiliki, apapun itu agar dapat memberi
kebermanfaatan secara luas dan terus menerus.
Ayah memulai diskusi dengan sebuah pertanyaan ”apa yang
harus dilakukankan untuk memerangi kebodohan yang merajalela di masyarakat? contohnya
pestapora, hura-hura, syirik, tidak menjalankan kewajiban sebagai penghambaan
kepada Allah, merasa cukup dengan ilmu yang dimiliki dll”. Tanggapan pertama
oleh kakakku, ia menjelaskan bahwa untuk memperbaiki itu semua bertahap tidak
bisa serta merta, dan yang paling pertama adalah memberikan keteladanan,
sebagaimana Rosulullah SAW mendidik dengan keteladanan. Maka perlu untuk
menjadi teladan bagi keluarga dan orang-orang sekitar dan bila memungkinkan
kepada masyarakat luas. Tepatnya menjadi sholih dan mensholihkan orang lain. Kedua
tanggapan dari adikku, ia menjelaskan bahwa perlu adanya perbaikan pendidikan,
karena pendidikan sangat menunjang kemajuan berfikir seseorang, pembentukan
lingkungan yang kondusif, karena lingkungan sangat besar perannya dalam
membentuk pribadi dan karakter seseorang.
Terakhir saya melengkapi penjelasan mereka, bahwa yang harus
dilakukan adalah memperbaiki agamanya (islam tentunya) karena jika baik
agamanya maka akan baiklah semua tatanan kehidupannya. Karena islam adalah
agama yang universal yang mengatur semua lini kehidupan; pendidikan, ekonomi,
muamalah, hukum, pemerintahan, keluarga, masyarakat, Negara dll. Bila baik agamanya, insya Allah ia akan menjadi pribadi
yang berkarakter muslim yang kuat. Ia
akan sangat menghargai kehidupan, maka tak akan ada hal yang sia-sia yang ia
lakukan, semua pasti ingin Ia lakukan dengan sebaik-baiknya mengharap Ridha
dari Allah SWT. Karena hidup di dunia ini terlalu singkat untuk disia-siakan,
maka lalukanlah kebaikan apapun yang bisa kita lakukan, mulai dari diri sendiri,
mulai dari hal kecil dan mulai dari sekarang. Karena titik awal perbaikan
masyarakat adalah dimulai dengan memperbaiki diri sendiri.
Saya sungguh bersyukur dipertemukan dalam lingkaran
tarbiyah, saya seperti menemukan jalan lurus yang mengantarkan saya memahami
hakikat penciptaan manusia. Di jalan inilah saya banyak belajar tentang islam
yang kaffah. Bahwa kita tidak cukup hanya menjadi sholih saja namun harus juga
mensholihkan orang lain, inilah dakwah yang diajarkan oleh Rosulullah SAW.
Peduli terhadap keluarga, teman, orang sekitar, dan masyarakat secara luas. Seperti
firman Allah ini:
“Wahai orang-orang yang beriman, jagalah diri
kalian dan keluarga kalian dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia
dan batu, penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras,yang tidak
mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu
mengerjakan apa yang diperintahkan.” (At-Tahrim: 6)
Kisah yang tak kalah menariknya selama kepulanganku adalah
saat menjadi pengasuh dua keponakanku Hanif Aqil Al Fath dan Haziq Najib,
mereka adalah anak-anak yang cerdas, lucu, juga cakep J. Pernah suatu ketika aku
ditanya sama si sulung: Hanif, “bi sok, Allah tu apo? Aku menjawab “Allah itu Tuhan
kita, tempat kita meminta, tempat kita bergantung, pemberi rizki kepada kita. Dengan
wajah polosnya ia berkata “ooo, jadi Allah yang ngasih kito makan, ngasih kito
minum, ngasih kito duit yo bi sok? Aku tersenyum mendengar pertanyaannya dan
segera ku jawab “iyo semuanya Allah yang ngasih, makonyo kito harus rajin
sholat, rajin ngaji, rajin berdo’a biar kito dikasih terus. Anak-anak usia mereka jangan dibiasakan menonton
film-film kartun yang ga jelas, yang sekarang banyak tayang di tivi, karena itu
akan membentuk karakter mereka. Nah solusi untuk anak-anak yang suka menonton,
belilah cd film islami atau download permainan yang edukatif yang sekarang
banyak beredar. Karena yang mereka lihat dan mereka dengar cepat sekali mereka
tiru dan mereka rekam ke dalam otak sehingga itu yang berperan juga membentuk
karakter mereka selain keteladanan dari orang tua dan orang-orang sekitar
mereka. Untuk kedua ponakanku ini sengaja ku belikan mereka DVD film2 islami,
cara belajar berdo’a dan belajar ngaji, walaupun mereka masih dibawah lima
tahun. Ini untuk membiasakan anak2 belajar lebih awal supaya mempersiapkan
mereka menjadi generasi Rabbani nantinya. Anak-anak usia dua tahun sebenarnya
sudah bisa diajarkan dan diajak berkomunikasi tentang ilmu namun jangan
dipaksakan belajar membaca, menulis ataupun berhitung. Karena pada usia ini
anak-anak lebih cenderung menggunakan lisan dan ingatannya sehingga mereka
sangat cepat meniru ucapan orang dewasa, kecenderungan ini ada baiknya kita
manfaatkan untuk mengajarkan mereka hal-hal yang positif, mengajarkan do’a,
surat-surat pendek dan kata-kata yang baik. Agar nantinya melekat dalam ingatan
mereka.
Satu hal yang paling tidak mengenakkan bagi saya saat pulang
kemarin, yah saat ditanya dan aku tak bisa menjawabnya. dimana-mana ditanya,
sampe dirumahpun ditanya. Kalo kemarin2 ibu menanyakan hanya lewat telepon,
kali ini beliau menanyakan dengan cukup serius dan bicara empat mata denganku “
nak, Ingatlah umurmu semakin bertambah, sementara adik-adikmu semakin besar,
dan ibu dan ayah sudah semakin tua. Kapan kamu akan menikah? Apalagi yang kamu
cari? apalagi yang ditunggu?”. Pertanyaan yang bertubi-tubi itu semakin
membungkam mulutku, aku tak tau harus menjelaskan apa pada ibu.
Rasanya mendung semakin pekat menyelimuti pelupuk mataku,
aku tak tahan lagi membendungnya dan perlahan ia menjadi gerimis yang semakin
deras megalir di sudut mataku. Aku kelu, dadaku sesak. Lama kuhimpun kekuatan
untuk sekedar menjelaskan” ibu, siapa yang tidak ingin menikah? Siapa yang
tidak ingin segera membuat hati ibu dan ayah bahagia karena anak perempuannya
telah menemukan teman sejatinya, anakmu ini manusia normal tentu saja aku
sangat ingin bu... Hanya saja perlu kesabaran, mungkin saja Allah sedang memberiku
kesempatan untuk menambah ilmu, dan mempersiapkan diri menjadi pribadi yang
lebih matang agar bisa menjadi ibu yang terbaik bagi anak-anakku nanti, menjadi
pendamping terbaik bagi imamku nanti. Karena menikah tak hanya sekedar
menggugurkan status dari lajang menjadi menikah namun lebih dari itu membentuk
generasi Robbani, membentuk keluarga sakinah mawaddah warohmah dan dakwah, mohan
do’anya ya bu…agar aku diberi kesabaran dan kekuatan”. Akhirnya ibu berkata “
yah, orang yang sabar akan selamat nak, mudah-mudahan kamu menjadi orang yang
sabar dan selamat ya nak…” rasa haru langsung menyelimuti langit hatiku atas
pengertian ibuku. Kupeluk erat tubuhnya dan kamipun berderai-derai dalam
kebisuan.
Ibu, andai engkau tau apa yang kurasakan saat ini, tentu
engkau takkan bertanya kapan aku menikah, karena aku tak pernah bisa
menjawabnya. Hanya Allah yang tau kapan saat itu tiba, aku hanya bisa menanti,
dalam penantian ini aku tidak hanya diam, tapi berharap kepada Allah terus
berdo’a sekuat kemampuanku, dan terus berusaha memperbaiki diri ini, terus mencari
ilmu yang masih sangat banyak yang tak ku tau. Saat ini itulah yang bisa
kulakukan, terus berharap hanya kepada Allah, karena Dialah yang Maha
Mengabulkan Harapan hambanya.
Kosa kata:
Umak: pangilan kepada ibu
Bi Sok: panggilan kepada bibi pertama dari ibu atau ayah
Mane: mana?
Nga: kamu
Duma: di rumah
Ngasih: memberi
Hanif, Najib, dan ayah ibunya...
Ayah, ibu dan adik-adik q tercinta :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
syukron...telah berkunjung ke blog ana...
semoga bermanfaat ya ^_^