Cari Blog Ini

Rabu, 26 September 2012

"Sungguh, Aku Ingin Bersamamu"


Mentari di ufuk timur mulai memancarkan hangatnya, menyinari pucuk-pucuk pohon yang lesu tegak di atas keringnya bumi pertiwi, rumput-rumput mengering, kemarau telah lama menemani hari-hari. Di sebuah rumah sederhana, tampak seorang ibu, ayah dan tiga putrinya sedang bercengkrama lepas, bahagia melepas kerinduan setelah lama terpisah hingga ribuan kilometer. Kebahagiaan itu belumlah lengkap lantaran kakak tertua tidak hadir bersama mereka. Ia bersama suami dan anak-anaknya yang lucu dan menyenangkan berlibur sekaligus berlebaran di tempat mertuanya. Tapi tidak mengapa, yah itulah hidup, kadang lengkap berkumpul, namun hari-hari berikutnya terpisah jauh.

Itulah gambaran keluarga sederhanaku, aku sangat mencintai dan menyayangi mereka. Kami bercerita banyak hal, ayahku berpesan agar bisa menjaga diri dengan baik di negeri orang. Tenang ayah ada Allah bersamaku, insya Allah aku akan baik-baik saja. Karena jika kita punya niat baik Allah pasti akan mempertemukan kita dengan orang-orang baik lagi shalih, dan alhamdulillah aku menemukannya. Setelah dirasa cukup ayahku pamit meninggalkan kami, beliau pergi ke kebun melanjutkan perjuangan yang sangat melelahkan. Aku sungguh terharu walaupun dalam kondisi berpuasa dan diusia yang mulai senja beliau masih tetap menyongsong teriknya mentari kemarau. Semua ia lakukan hanya demi masa depan anak-anaknya. Engkau tak perlu lagi melakukanya ayah, cukuplah sudah engkau bekali kami sampai ke perguruan tinggi. Itulah kasih seorang ayah kepada anaknya, aku banyak belajar dari sosok beliau.

Hari beranjak siang, aku, ibu dan adik-adik sedikit sibuk mempersiapkan datangnya hari Kemenangan. Namun berbeda dengan tahun-tahun lalu tak banyak kue yang kami bikin, entahlah aku merasakan ingin selalu dekat dengan Allah saja, indah dan damai sekali rasanya. Apalagi moment sepuluh hari terakhir yang dianjurkan oleh Rosulullah SAW untuk beri’tikaf. Ku ingin melanjutkan i’tikaf yang ku lakukan sebelum pulang di sebuah masjid kampus di Bogor, tetapi di kampungku tak ada masjid yang menyelenggarakan i’tikaf, ya sudah akhirnya di rumah saja. Hari berlalu hingga hari kemenangan itu tiba, aku merasakan ramadhan tahun ini begitu bermakna dalam jiwaku.

Duhai ramadhanku…
Begitu cepat engkau tinggalkan aku…
Aku terpaku di sini…
Mengenang indahnya bersamamu…
Meresapi nimatnya bermunajat pada-Nya…
Ya Robbana aku memohon…
Agar nikmat ini selalu bersamaku…

Lima belas hari kebersamaanku dengan mereka menyisakan cinta yang semakin mendalam di hatiku. Hari ke sembilan pasca lebaran aku berpamitan kepada mereka untuk kembali meneruskan perjuangan hidup. Ibuku yang setia mengantarkan keberangkatanku diam seribu bahasa, matanya berkaca-kaca, ku peluk erat tubuhnya yang sudah mulai menua sebelum kemudian aku perlahan-lahan semakin menjauh meninggalkanya hingga hilang di ujung jalan. Akupun tak kuasa membendung air bah yang sebenarnya dari tadi hendak ku tumpahkan, namun ku tak ingin ia melihat kesedihanku, biarlah Allah saja yang tahu.

Bunda tahukah engkau, aku sangat merindukanmu, tahukah engkau aku sangat menyayangimu, tahukah engkau disetiap do’aku selalu terselip namamu dan nama ayah. Engkau begitu bersahaja, dalam ingatanku engkau tak pernah marah pada kami anak-anakmu walau kadang kami lalai mengerjakan pesanmu, tapi engkau tetap tenang dalam kondisi kepayahan yang luar biasa. Engkau begitu mulia, engkau selalu setia menemani ayah bekerja walaupun itu bukan tugasmu. Bunda, aku tak tahu harus bagaimana aku membalasnya. Yang aku tau hanyalah mendo’akanmu dan ayah, serta menjadikan diriku hamba yang bertaqwa dihadapan-Nya. “Aku ingin membangun cinta di atas cinta-Nya, aku ingin menjadi cahaya di atas cahaya-Nya”. Aku ingin di akhirat nanti kita berkumpul semuanya bersama Rosulullah SAW dan sahabat-sahabatnya.

Bunda, tenanglah aku di sini untuk belajar, belajar kemandirian, belajar menjadi bermanfaat bagi orang lain, belajar menata masa depan, belajar menjadi yang terbaik untukmu, belajar agar bisa kuat jauh darimu. Biarlah saat ini aku merasakan pahitnya jauh darimu, agar suatu hari nanti bila aku dipertemukan dengan seseorang pilihanNya aku tidak merasakan lagi gunda gulana jauh darimu hingga aku rela dan engkaupun rela kemanapun aku dibawa pergi. Dunia ini hanyalah sementara, yang abadi itu negeri akhirat. Bukan ku tak ingin bersamamu bunda, ayah tapi aku ingin kita berkumpul di negeri abadi nanti, di JannahNya. Aamiin.

“Wahai ayah dan ibu”

Wahai ayah dan ibu dengarlah rintihan anakmu
Pimpinlah diriku ini di jalan penuh berduri
Berilah ilmu..berilah Tuhan pencipta diri ini
Slamatkan dari tipuan dunia menuju alam yang abadi
Ilmu akhirat wajib dipelajari bekalan untuk bertemu Ilahi
Ilmu duniawi boleh dicari panduan hidup untuk berbakti
Ayah dan ibu ini impianku ingin menjadi anak yang sholih
Menolong ayah membantu ibu terus berbakti di negeri abadi
Tuhan beri kekuatan iman pada kedua ayah dan ibuku
Kau ampunkan segala kelemahan, snantiasa dalam bimbingan-Mu…
Setiap detik setiap saat berada dalam ridha-Mu
Jalan yang lurus ditunjuki…Tuhan jadi sahabat sejati…
By: Umam


                                     Wisma Mahabbah
                                       Cikarang, 25 September 2012





3 komentar:

  1. “Aku ingin membangun cinta di atas cinta-Nya, aku ingin menjadi cahaya di atas cahaya-Nya”. Aku ingin di akhirat nanti kita berkumpul semuanya bersama Rosulullah SAW dan sahabat-sahabatnya. ..

    aamiin yaa Rahiim..
    doa yang indah, mbak Tuti,
    salam kenal,yah..
    ohya, boleh An follow blog mbak?
    :)

    BalasHapus

syukron...telah berkunjung ke blog ana...
semoga bermanfaat ya ^_^