Mentari di ufuk timur mulai memancarkan hangatnya, menyinari
pucuk-pucuk pohon yang lesu tegak di atas keringnya bumi pertiwi, rumput-rumput
mengering, kemarau telah lama menemani hari-hari. Di sebuah rumah sederhana,
tampak seorang ibu, ayah dan tiga putrinya sedang bercengkrama lepas, bahagia
melepas kerinduan setelah lama terpisah hingga ribuan kilometer. Kebahagiaan
itu belumlah lengkap lantaran kakak tertua tidak hadir bersama mereka. Ia
bersama suami dan anak-anaknya yang lucu dan menyenangkan berlibur sekaligus
berlebaran di tempat mertuanya. Tapi tidak mengapa, yah itulah hidup, kadang
lengkap berkumpul, namun hari-hari berikutnya terpisah jauh.
Itulah gambaran keluarga sederhanaku, aku sangat mencintai dan
menyayangi mereka. Kami bercerita banyak hal, ayahku berpesan agar bisa menjaga
diri dengan baik di negeri orang. Tenang ayah ada Allah bersamaku, insya Allah
aku akan baik-baik saja. Karena jika kita punya niat baik Allah pasti akan mempertemukan
kita dengan orang-orang baik lagi shalih, dan alhamdulillah aku menemukannya. Setelah
dirasa cukup ayahku pamit meninggalkan kami, beliau pergi ke kebun melanjutkan
perjuangan yang sangat melelahkan. Aku sungguh terharu walaupun dalam kondisi
berpuasa dan diusia yang mulai senja beliau masih tetap menyongsong teriknya
mentari kemarau. Semua ia lakukan hanya demi masa depan anak-anaknya. Engkau
tak perlu lagi melakukanya ayah, cukuplah sudah engkau bekali kami sampai ke
perguruan tinggi. Itulah kasih seorang ayah kepada anaknya, aku banyak belajar
dari sosok beliau.
Hari beranjak siang, aku, ibu dan adik-adik sedikit sibuk
mempersiapkan datangnya hari Kemenangan. Namun berbeda dengan tahun-tahun lalu
tak banyak kue yang kami bikin, entahlah aku merasakan ingin selalu dekat
dengan Allah saja, indah dan damai sekali rasanya. Apalagi moment sepuluh hari
terakhir yang dianjurkan oleh Rosulullah SAW untuk beri’tikaf. Ku ingin
melanjutkan i’tikaf yang ku lakukan sebelum pulang di sebuah masjid kampus di
Bogor, tetapi di kampungku tak ada masjid yang menyelenggarakan i’tikaf, ya
sudah akhirnya di rumah saja. Hari berlalu hingga hari kemenangan itu tiba, aku
merasakan ramadhan tahun ini begitu bermakna dalam jiwaku.
Duhai
ramadhanku…
Begitu cepat
engkau tinggalkan aku…
Aku terpaku
di sini…
Mengenang indahnya
bersamamu…
Meresapi nimatnya
bermunajat pada-Nya…
Ya Robbana
aku memohon…
Agar nikmat
ini selalu bersamaku…
Lima belas hari kebersamaanku dengan mereka menyisakan cinta yang
semakin mendalam di hatiku. Hari ke sembilan pasca lebaran aku berpamitan
kepada mereka untuk kembali meneruskan perjuangan hidup. Ibuku yang setia
mengantarkan keberangkatanku diam seribu bahasa, matanya berkaca-kaca, ku peluk
erat tubuhnya yang sudah mulai menua sebelum kemudian aku perlahan-lahan
semakin menjauh meninggalkanya hingga hilang di ujung jalan. Akupun tak kuasa
membendung air bah yang sebenarnya dari tadi hendak ku tumpahkan, namun ku tak
ingin ia melihat kesedihanku, biarlah Allah saja yang tahu.
Bunda tahukah engkau, aku sangat merindukanmu, tahukah engkau aku sangat
menyayangimu, tahukah engkau disetiap do’aku selalu terselip namamu dan nama
ayah. Engkau begitu bersahaja, dalam ingatanku engkau tak pernah marah pada
kami anak-anakmu walau kadang kami lalai mengerjakan pesanmu, tapi engkau tetap
tenang dalam kondisi kepayahan yang luar biasa. Engkau begitu mulia, engkau
selalu setia menemani ayah bekerja walaupun itu bukan tugasmu. Bunda, aku tak
tahu harus bagaimana aku membalasnya. Yang aku tau hanyalah mendo’akanmu dan
ayah, serta menjadikan diriku hamba yang bertaqwa dihadapan-Nya. “Aku ingin
membangun cinta di atas cinta-Nya, aku ingin menjadi cahaya di atas cahaya-Nya”.
Aku ingin di akhirat nanti kita berkumpul semuanya bersama Rosulullah SAW dan
sahabat-sahabatnya.
Bunda, tenanglah aku di sini untuk belajar, belajar kemandirian,
belajar menjadi bermanfaat bagi orang lain, belajar menata masa depan, belajar
menjadi yang terbaik untukmu, belajar agar bisa kuat jauh darimu. Biarlah saat
ini aku merasakan pahitnya jauh darimu, agar suatu hari nanti bila aku
dipertemukan dengan seseorang pilihanNya aku tidak merasakan lagi gunda gulana
jauh darimu hingga aku rela dan engkaupun rela kemanapun aku dibawa pergi.
Dunia ini hanyalah sementara, yang abadi itu negeri akhirat. Bukan ku tak ingin
bersamamu bunda, ayah tapi aku ingin kita berkumpul di negeri abadi nanti, di
JannahNya. Aamiin.
“Wahai
ayah dan ibu”
Wahai ayah
dan ibu dengarlah rintihan anakmu
Pimpinlah
diriku ini di jalan penuh berduri
Berilah
ilmu..berilah Tuhan pencipta diri ini
Slamatkan
dari tipuan dunia menuju alam yang abadi
Ilmu akhirat
wajib dipelajari bekalan untuk bertemu Ilahi
Ilmu duniawi
boleh dicari panduan hidup untuk berbakti
Ayah dan ibu
ini impianku ingin menjadi anak yang sholih
Menolong ayah
membantu ibu terus berbakti di negeri abadi
Tuhan beri
kekuatan iman pada kedua ayah dan ibuku
Kau ampunkan
segala kelemahan, snantiasa dalam bimbingan-Mu…
Setiap detik
setiap saat berada dalam ridha-Mu
Jalan yang
lurus ditunjuki…Tuhan jadi sahabat sejati…
By: Umam
Wisma Mahabbah
Cikarang, 25 September 2012
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus“Aku ingin membangun cinta di atas cinta-Nya, aku ingin menjadi cahaya di atas cahaya-Nya”. Aku ingin di akhirat nanti kita berkumpul semuanya bersama Rosulullah SAW dan sahabat-sahabatnya. ..
BalasHapusaamiin yaa Rahiim..
doa yang indah, mbak Tuti,
salam kenal,yah..
ohya, boleh An follow blog mbak?
:)
Ya salam ukhuwah ^_^ boleh sekali mb An, tafaddol...
Hapus